Ini adalah postingan pertama blog ini dalam Bahasa Indonesia, serta mengenai sepeda yang bukan daerah kemahiran saya, sehingga bila kaku atau aneh, mohon dimaklumi ya. Hehe.
Sepeda jenis citybike. Mungkin lebih umum didengar dengan panggilan ‘sepeda mini’, ‘sepeda perempuan’, atau bahkan ada juga yang memanggilnya sebagai ‘sepeda onthel’ (walaupun dalam presepsi saya sepeda onthel itu sepeda ‘dutch bike’ tua yang biasanya dipakai oleh sesepuh Jawa atau sebagai barang antik sekarang).
Saya sangat bingung, kenapa sepeda yang memiliki fungsi lebih, seperti spakbor depan belakang/fenders, wadah bagasi (keranjang), frame step through (frame tengah rendah), lampu dinamo tanpa baterai, dan posisi duduk yang jauh lebih nyaman dan santai, hampir selalu diasosiasikan dengan “sepeda untuk kaum hawa”?
Padahal, di Belanda dan di Jepang, sepeda jenis ini banyak digunakan oleh pria juga.
Memang, secara umum, sepeda dengan frame/rangka step-through atau rendah itu awalnya didesain untuk membantu wanita yang menggunakan rok agar dapat menggunakan sepeda dengan mudah, aman, dan nyaman. Tapi apakah pria kemudian tidak dapat menggunakan sepeda dengan frame jenis step-through? Tentu saja tidak. Secara fungsional, frame sepeda jenis step-through ini tidak berubah, kecuali kekuatan atau kekokohan frame itu sendiri. Sepeda dengan frame yang cenderung segitiga, umum pada sepeda jenis roadbike, mountain bike, dan sebagainya, itu membuat frame itu menjadi lebih kokoh dan seimbang dibanding frame jenis step-through.
Mungkin karena alasan itu juga, banyak sepeda dengan frame step-through menggunakan frame yang berbahan dari besi berat, berbeda dengan frame sepeda “olahraga” yang dibuat menggunakan alloy (metal campuran) yang lebih ringan dan memaksimalkan kecepatan. Frame dari besi memang jauh lebih berat dibandingkan frame dari alloy, tetapi juga lebih kuat, kokoh, dan tahan lama. Selain itu, sepeda yang memiliki frame step-through ini biasanya tidak didesain untuk melaju secepat mungkin, sehingga bobot tidak selalu menjadi masalah.
Secara desain, sepeda citybike tidak difokuskan pada kecepatan, aerodinamika, ataupun fleksibilitas penggunaan. Tetapi lebih ditekankan pada kepraktisan/fungsi praktikal dalam penggunaan sehari-hari. Contohnya, frame step-through tadi. Naik-turun sepeda jenis citybike sangat mudah dan nyaman, karena framenya rendah. Sepertinya lebih mudah dipahami jika saya jabarkan dalam bentuk poin-poin ya. Oke, akan saya tulis begitu.
Kelebihan Citybike
- Frame Step-through: Naik-turun sepeda lebih mudah, tidak mengangkat rok bagi wanita;
- Keranjang Depan: Bagasi kecil, sangat berguna untuk membawa barang. Lebih nyaman diletakkan di keranjang daripada membawa backpack berat di punggung, dompet dicelana yang mengganjal, ataupun plastik kresek berat yang digantungkan di sebelah sisi stang–tidak seimbang;
- Spakbor/slebor Depan-Belakang: Mencegah air dari tanah/ban sepeda menyiprat ke pengendara sepeda;
- Rak Panniere Belakang: Potensi menambah kapasitas bagasi, kardus diikat di atas rak, tas/keranjang/panniere tambahan juga bisa. Rak dapat digunakan untuk boncengan juga.
- Dynamo/Lampu Tanpa Baterai: Lampu penerangan depan tanpa menggunakan baterai, selalu siap pakai tanpa membeli baterai, tanpa mengecharge, dll.
- Posisi Sadel/Jok dan Stang Handle: Berbeda dengan sepeda olahraga yang pengendaranya lebih bungkuk/maju ke depan dengan posisi tubuh dibebankan pada stang, pada citybike pengendara duduk tegap/tegak, sehingga lebih nyaman bila mengalami masalah punggung.
- Penutup Rantai: Melindungi rantai dan gerigi dari kotoran, serta mencegah pakaian/celana terkena oli/minyak rantai atau pakaian/barang bawaan/tali nyangkut di rantai.
- Penutup Roda Belakang: TIdak ditemui di semua citybike, tapi lebih umum ditemukan di sepeda asal Belanda. Melindungi pakaian nyangkut ruji-ruji roda belakang, serta melindungi kaki anak-anak yang membonceng di belakang menyangkut/dilukai oleh ruji-ruji.
Secara praktis, citybike difokuskan pada kenyamanan dan fleksibilitas dalam penggunaan! Sepeda dapat digunakan oleh orang yang menggunakan celana maupun rok, bisa digunakan membawa banyak barang, mau siang atau malam tidak masalah karena ada lampu, terang atau hujan juga tidak peduli karena ada spakbor/slebor! Bandingkan dengan sepeda mountain bike, road bike, atau semacamnya. Hampir semua tidak diberikan spakbor/slebor dari pabrik! Padahal Indonesia kan tropis, hujan itu bukan sesuatu yang jarang terjadi. Kenapa tidak punya spakbor/slebor? Saya tidak habis pikir.
Tidak sedikit orang awam–pria awam yang berpendapat “tapi kan itu sepeda cewek”, atau “malu ah pake sepeda begituan”, seakan bila naik sepeda berjenis citybike otomatis mereka akan kehilangan alat kelamin mereka dan langsung berubah jadi cewek atau langsung jadi omongan ibu-ibu komplek, dan otomatis diolok-olok. Padahal, sepeda jenis ini difokuskan pada fungsi praktis, memang bukan difokuskan untuk olahraga, apalagi gaya! Bayangkan, sepeda ini mengakomodasi pengendaranya baik siang malam, panas hujan, bawa barang atau tidak. Kurang mengakomodasi apa, kok masyarakat hampir selalu mengasosiasikan sepeda citybike dengan wanita.
Jujur, saya mendukung keseteraan gender, saya percaya bahwa selama mendapat kesempatan dan dukungan yang sama, baik laki-laki ataupun perempuan itu tidak ada bedanya! Mungkin ada sedikit perbedaan fisik, tapi selebihnya, saya sangat percaya bahwa gender tidak mempengaruhi kompetensi ataupun kemahiran seseorang, asalkan mereka memiliki kesempatan dan dukungan yang sama dalam belajar dan berlatih.
Saya juga tidak peduli, atau lebih tepatnya, berusaha tidak peduli, mau laki-laki atau perempuan menggunakan pakaian apapun yang mereka suka. Perempuan pakai celana, dulu mungkin tidak biasa, karena mayoritas menggunakan rok. Laki-laki pakai dress atau terusan, mungkin masyarakat sangat tidak bisa menerima, tapi saya berusaha untuk tidak memandang buruk atau mempermasalahkannya. Kenapa harus dipermasalahkan? Kamu kenal orang itu? Orang itu mau pakai baju apa, selama tidak bugil, ya kenapa dipermasalahkan, kan tidak mengganggu siapa-siapa.
Apalagi sepeda citybike, yang memang didesain untuk fungsi praktis dan bukan difokuskan pada olahraga, kecepatan, portabilitas, apalagi “fashion” atau “gaya”. Saya pikir kenapa masyarakat Indonesia masih meng-gender-kan barang mati, barang mekanis. Motor matik yang difokuskan dalam kemudahan berkendara dan bagasi ekstra, juga tidak masalah kan jika dikendarai oleh pria? Kenapa sepeda citybike harus “pointlessly gendered” sebagai ‘sepeda wanita’? Kalau dipikirkan lagi, kok absurd, abritrer, manasuka sekali ya.
Jujur, pada awalnya saya berpikir, “kalau mau beli sepeda, sepertinya sepeda gunung paling baik!”. Kemudian saya membaca dan memupuk pengetahuan saya dengan bahasan, ilmu, artikel, dsb tentang sepeda-sepeda– yang membuktikan bahwa pendapat awal saya kurang tepat! Kalau saya beli sepeda, saya akan jauh lebih sering menggunakannya untuk ke warung, belanja, yang dekat-dekat rumah, kenapa harus pilih yang susah (tidak ada bagasi, tidak ada spakbor/slebor jika hujan, tidak ada lampu bila malam), bila ada yang lebih gampang dan fleksibel seperti citybike?
Saya bilang: saya laki-laki, tapi bodo amat mau naik sepeda jenis apa. Toh, saya juga biasanya naik sepeda motor milik ayah saya: Honda Astrea Grand tahun 1996 – 80cc. Desain melingkar feminin, tenaga kecil, bensin boros. Kondisi juga sudah butut, bagian ini itu banyak yang diselotip lakban, kendor sana sini, lecet sana sini, stiker ini itu mengelupas sana sini. Apakah saya peduli? Tentu saja tidak.
Saya sekarang punya uang cukup untuk membeli motor baru, 5 biji atau lebih sekalipun, tapi kan saya pakai sepeda motor untuk pergi dari titik A ke titik B, dan tidak setiap hari. Selama fungsi mengantarkan saya kemana-mana masih bisa, kenapa harus beli baru? Well, kecuali saya sudah tidak tinggal bersama orang tua saya lagi, mungkin di saat itulah saya harus punya motor sendiri, untuk bepergian jarak jauh. (Soalnya motornya milik orang tua saya).
Dari situ ketahuan ya, bahwa saya mengutamakan fungsi praktis pada barang yang saya pakai, dibanding fungsi/prioritas yang lainnya. Itulah kenapa saya kapan hari beli HP mahal lebih baik tetap beli smartphone Android. Secara fungsional lebih fleksibel dan bebas, walau tidak “gaya” seperti iPhone yang mahal. Saya tak perlu dibatasi ataupun dijejali Apple tentang desain atau cara menggunakan smartphone gaya “Apple”, saya pilih kebebasan dan fleksibilitas penggunaan smartphone pribadi saya, terimakasih. Saya sudah cukup punya iPad yang sistemnya sangat kaku, terbatas, dan tidak fleksibel. Cara pakai produk semua dipaksakan oleh Apple. “The Apple Way”. “Apple know best”. Saya bebas menginstall aplikasi apapun, bisa mengubah smartphone saya untuk memenuhi cara pakai dan kebutuhan saya. Bukan kebalikannya. Masak sih, beli smartphone mahal-mahal tapi malah mengubah cara pakai dan kebutuhan ke smartphone itu sendiri. Padahal yang utama saat beli suatu barang itu kebutuhan, bukan gaya ataupun yang lainnya. Beli barang yang menyesuaikan kebutuhan kita, bukan kitanya yang menyesuaikan atau menambah-nambah kebutuhan karena beli barang yang sebenarnya kita tidak perlu banget. Apalagi beli aksesoris tambahan, misalnya karena Apple colokannya lightning dan tidak support USB-C OTG. Harus beli lightning OTG dan harus yang “Apple Certified” biar bisa dipakai! Sepeda juga sama, ngapain beli yang tidak sesuai kebutuhan, tapi malah nambah-nambah beli slakbor/slebor, lampu, rak pannier dll lagi akhirnya biar bisa tercukupi kebutuhannya.
Sama dengan pandangan saya pada sepeda citybike. Daripada sebagai “sepeda perempuan” saya memandang citybike oleh fleksibilitas dan fitur yang ditawarkannya. Bukankah enak ke warung dekat rumah untuk belanja banyak barang, tidak perlu pusing membawanya karena ada keranjang dan rak pannier? Tidak usah pakai motor, malas isi bensin. Malahan kalau capek sepedaan bisa jadi alasan untuk jajan es krim atau minuman dingin yang segar di jalan pulang. Ya gak sih? 😀 Yum!